Rabu, 26 Oktober 2016

KAUM YANG TERLUPAKAN

Oleh: Musthafa al-Muhdhor

            Teringat perjuangan 22 oktober tahun 1945 guna membentengi dan mempertahankan Negara dan bangsa yang dilakukan oleh segerombolan orang yang kurang dianggap di mata negara dan bangsa. Jiwa dan raga, mereka serahkan dan abdikan hanya untuk Indonesia. Jasad dan ruh mereka jadikan tameng bagi bangsa. Masa depan mereka, mereka tutup secara paksa demi masa depan negri. Dedikasi diri dan darah mereka hampir tak teringat, bahkan tak diketahui oleh bangsa mereka sendiri. Memang mereka bersumbangsih dan mengabdi dengan ihklas dan tanpa pamrih. Tapi pengorbanan itu benar-benar tidak dapat ruang sedikitpun dalam sejarah, bahwa para kyai dan santri telah ikut serta dalam mengisi barisan nama-nama pahlawan bangsa, padahal mereka sangatlah layak menyandang gelar tersebut.
            Negri ini butuh yang namanya teladan dari berbagai sisi dan elemen, nasionalis yang berbau agama, dan agamawan yang bernasionalisme. Sangatlah signifikan bagaimana gambaran perjuangan, visi dan nilai etik dari para kiai dapat diteladani pada masa kini, yakni berjuang untuk bangsa Indonesia, pada bidang keahlian apapun. Menjaga agar bangsa ini tetap bersatu, tidak terpecah belah.
             Pola politik pecah belah dan adu-domba (devide et empera) yang menjadi strategi masa kolonial masih terjadi hingga saat ini. “Sejarah mencatat bahwa para santri dan orang-orang Tionghoa bersatu dalam perjuangan melawan penjajah. Hal ini, tampak pada masa Perang Kuning (1740-1743) dan Perang Jawa (1825-30), juga pada masa-masa akhir abad ke-19. Namun politik Belanda memecah mereka dengan jurang pemisah, baik struktural maupun kultural. Sekarang ini, terlihat bagaimana adu domba juga terjadi di berbagai sektor, misalnya antar ideologi Islam hingga kepemimpinan. Kita harus belajar dari sejarah, agar menjadi waspada dan mengerti pola strategi politik.
             Para kyai dan kaum santri, jelas menjadi benteng penting kokohnya NKRI. Kalau ingin ditelusuri lagi, sebenarnya perjuangan nasional tidak bermula pada 1908, ketika Budi Oetomo berdiri. Akan tetapi perjuangan nasional sudah dimulai sejak masa Diponegoro, ketika para kyai menjadi lingkaran penting untuk menggerakkan santri dan warga melawan penjajah. Ketika Perang Jawa berakhir, para kyai kemudian melakukan konsolidasi dengan mendirikan pesantren di berbagai daerah untuk merawat jaringan santri, yang kemudian bergerak pada perjuangan kemerdekaan di berbagai penjuru Nusantara.


            Inilah fakta bukan fiktif, inilah yang nyata bukan yang buta. Ya, mungkin mereka (sejarawan bangsa) memeng berusaha menghapus sejarah santri dan kyai, entah mereka orang yang benci akan Islam, atau justru orang Islam sendiri yang tidak senang dengan saudaranya muslim. Tapi menurut penulis, mereka itu buta hati dan tidak memiliki rasa kemanusiaan serta jauh dari jiwa nasionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar