Rabu, 11 Januari 2017

BELAJAR DI HADHRAMAUT

BELAJAR DI HADHRAMAUT
Oleh : Rizky Daniel Fatahillah
“Ilmu akan lebih baik bila diambil langsung dari sumber asalnya,” kiranya mantra sakti inilah yang juga mendorong para pelajar yang hendak memperdalam ilmu agama Islam hingga datang beramai-ramai ke Timur Tengah. Ya, sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama atau syariat Islam tumbuh dan berkembang di Timur Tengah, tepatnya di Hijaz (Mekah dan Madinah). Akan tetapi dari sekian banyak tempat di Timur Tengah yang menjadi pusat belajar ilmu-ilmu keislaman, berapa banyakkah dari calon pelajar kita yang melabuhkan pilihannya ke Hadhramaut? Bahkan mungkin sebagian pembaca mendengar namanya saja baru kali ini.
Nah, kurangnya pengetahuan akan Hadhramaut inilah yang menjadi faktor minimnya minat para pelajar kita untuk melabuhkan pilihannya ke Hadhramaut. Lebih parahnya lagi, ada sebagian oknum tidak bertanggung jawab yang mengunderastimade Hadhramaut sebagai tempat menimba ilmu-ilmu keislaman hanya dengan berlandaskan hawa nafsu dan opini-opini yang tidak beralasan. Padahal jika output (baca: alumni) dari suatu lembaga pendidikan menjadi tolak ukur kualitas lembaga pendidikan tersebut, maka Hadhramaut adalah sebagai lembaga besar pencetak dai-dai. Dari sanalah asal muasal tersebarnya Islam di Indonesia.
Bila kita runut sejarah tentang kedatangan Islam ke Indonesia, maka kita akan mendapati dalam buku-buku sejarah yang muktamad (menjadi acuan) bahwa datangnya Islam ke Indonesia adalah melalui jalur perdagangan dari Gujarat-India yang mayoritas adalah dari keluarga Azamatkhan. Nah, keluarga Azamatkhan inilah yang mulanya berasal dari Hadhramaut. Mereka adalah alawiyin (keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari jalur Sayidina Husen Radhiyallahu anhu) dari Hadhramaut yang hijrah untuk berdakwah dan berdagang ke India. Di sanalah mereka digelari Azamatkhan oleh orang-orang India yang artinya keluarga yang terhormat. Adapun yang pertama kali digelari dengan gelar tersebut adalah Sayid Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali` Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dan terus bersambung nasabnya hingga Sayyidah Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[1]
Itulah sebabnya mengapa masyarakat Indonesia pada umumnya bermazhab dengan mazhab yang juga dianut oleh Hadharim (bentuk jamak dari Hadhrami yang berarti orang Hadhramaut) begitu juga amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh orang Indonesia memliki banyak kesamaan dengan amalan-amalan yang dilakukan oleh orang Hadhramaut. Selain itu, bukti lain bahwa Hadhramaut memiliki peran utama dan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah banyaknya kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dipimpin oleh keturunan Hadhramaut. Contohnya Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sayid Badrul Alam as-Syarif Ibrahim bin Hasyim Jamalullail, Kerajaan Siak yang dipimpin oleh keturunan Sayid Utsman bin Abdurrahman bin Syihab, Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Sayid Muhammad bin Alwi al-Jufri, Kerajaan Pontianak yang dipimpin oleh Sayid Abdurrahman bin Husen al-Qadri dan masih ada lagi kerajaan-kerajaan lain di mana keturunan Hadhramaut berkiprah. Tentunya kepemimpinan pada suatu kerajaan juga menjadi faktor yang sangat strategis demi tersebarnya dakwah Islam.[2]
Maka teranglah sudah bahwa underastimade yang dilontarkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut sangat tidak beralasan. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa faktor penting penunjang kegiatan belajar mengajar adalah kondusifitas dan stabilitas negara tersebut. Memang benar, akhir-akhir ini di beberapa daerah Yaman masih belum kondusif akibat efek perang saudara yang terjadi tempo hari. Namun nyatanya itu sama sekali tidak mempengaruhi kegiatan belajar para pelajar Indonesia yang sebagian besar berpusat di kota Tarim maupun kota-kota lain di Hadhramaut. Sebab dari sekian provinsi di Yaman, Hadhramautlah yang paling sedikit terkena pengaruh dari perang saudara tersebut. Efek-efek yang dihasilkan di sini hanya berputar pada kelangkaan bahan bakar yang ditahan oleh pasukan oposisi, fluktuasi nilai dolar yang tidak stabil dan hal-hal lain yang kiranya tidaklah menjadi penghalang bagi thalib ilm (penuntut ilmu). Bahkan Hadharim sendiri menanggapinya dengan begitu santai seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Oleh karena itu, kini saatnya untuk kita agar lebih terbuka dan lebih objektif dalam menilai dan memilih sesuatu agar apa yang kita pilih itu sesuai dengan apa yang kita butuhkan dan cita-citakan. Sebab pada dasarnya setiap tempat dan lingkungan yang disediakan untuk para penuntut ilmu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Seperti metode pendidikan Hadhramaut yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Mulai dari mazhab fikih Syafi`i yang sama-sama dianut dan dipelajari oleh kedua negara, sampai sifat dan corak Islam yang sama-sama santun, ramah, fleksibel dan penuh kearifan yang dimiliki oleh kedua negara. Tak heran, karena seperti apa yang telah diterangkan sebelumnya bahwa Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang dibawa oleh para dai dari Hadhramaut.
*Tulisan ini telah dimuat dalam majalah an-Nadwa PPI Hadhramaut-Yaman



[1] Alwi Hamid Syihab, Tarim `Ashimah ats-Tsaqafah al-Islamiyyah 2010 M (Tarim: Wizarah ats-Tsaqafah Publisher)
[2] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar