Rabu, 11 Januari 2017

Tarim: Kota Ilmu, Amal dan Dakwah


Tarim: Kota Ilmu, Amal dan Dakwah
Oleh: Zainul Arifin Ahmad
“Sebuah kota adalah cerminan penduduknya”.

Tarim, dari sisi geografis terletak di lembah yang dikelilingi pegunungan batu. Luas kota ini hampir 2,325 km2. Ia memiliki dua musim yang berjalan dalam setahun, musim panas dan dingin. Pribumi penduduknya didominasi oleh orang–orang berkulit sawo matang, dengan postur tubuh rata 160 cm. Bangunan kotanya memiliki bentuk khusus, terbuat dari tanah liat dengan warna cokelat yang menutupi sisi luar tembok. Air yang melimpah membuat beberapa titik kota dihiasi kolam renang. Suasana masyarakat desa sangat terasa, dengan terlihat para penggembala yang masih mengembalakan hewan gembalaanya menuju padang ilalang.  
Seperti kaidah di atas, sejarah purnama-purnama di tengah gemerlap bintang malam ialah awal dari dikenalnya kota ini. Panji-panji kebenaran tertinggi din al-Islam yang menjadi dasar hidup dan impian para leluhur, membuat kokoh bangunan keagamaan milik masyarakat madani kota ini. Hingga tak heran gelar sebagai ibukota peradabaan Islam sempat tersematkan pada kota ini yang dianugerahkan oleh ISIESCO di tahun 2010 M.
Di dalam buku Tarim bainal Madli wal Hadir, dikatakan bahwa kota ini sudah dikenal semenjak era sebelum Islam sebagai kota perdagangan, tepatnya pada abad 4 SM. Saat itu peradaban negeri Saba runtuh dan digantikan oleh peradaban Himyariah. Tarim saat itu adalah nama yang diambil dari nama penguasanya, Tarim bin Hadhramaut bin Saba al-Ashghar. Sehingga pada saat fajar Islam datang, diutuslah seorang utusan dari kota ini yang dipimpin oleh Al-Asy'ats bin Qays al-Hindy untuk memahami wahyu ilahi di Madinah. Watak keluhuran budi pekerti yang menempel pada mereka membuat Rasulullah Saw. mengucapkan pujianya terhadap mereka, “Amanah itu berada di Azd dan Hadramaut. Maka, mintalah pertolongan pada mereka”. (Musnad Abu Qilabah).
Riwayat yang masyhur juga mengatakan bahwa sahabat Abu Bakar Ra. Tak mau ketinggalan juga untuk mendoakan kebaikan kota seribu wali ini setelah menyaksikan ketaatan penduduknya. Doa sahabat Abu Bakar Ra. seketika masuk ke ruang tanpa waktu, tak berselang lama purnama– purnama itu bermunculan. Sebutlah saja nama-nama: Imam al-Faqih al-Muqaddam, Habib Abdurrahman As-Seggaf, Imam Al-Haddad, Imam Umar al-Muhdhor dll.—rahimahumullah.
Cahaya yang mereka bawa mulai memasuki lorong gelap kota ini. Guna mengawal perjuangan, dibutuhkanlah masjid, zawaya dan madrasah sebagai pusat pengajian keilmuan. Disebutkan dalam buku Tarim 'Ashimatu Ats-Saqafah Al-Islamiyah oleh ahli sejarah Umar bin Alawy al-Kaff pada tahun 1407 H bawa, jumlah masjid yang berdiri telah mencapai 119 buah. Ini merupakan jumlah besar yang membuktikan akan kuatnya prinsip keagamaan masyarakat kota Tarim. Bukti lain akan keseriusan para leluhur dalam memperjuangkan tegaknya agama Islam ialah terukirnya tinta para purnama yang tak sedikit telah memenuhi perbendaharaan keilmuan Islam di muka bumi ini. Muqaddimah Hadramiah, Risalah Muawanah, Nashaihud Diniyah, Safinatun Najah, Qamus Muhith dan masih lebih banyak lagi.
Keilmuan tinggi tanpa amal yang imbang membuat hakikat ilmu menjadi tandus. Api yang menyala tanpa ada rasa hangat yang ditimbulkanya pun, tidaklah banyak guna. Tanggung jawab di dalam menjalankan hidup yang dirasakan oleh mereka membuat hidup zuhud, wara', al-amal bil ilmi dan tawakkal. Itulah prinsip yang harus terus ditanamkan sehingga tumbuh kokoh pada masanya. Buah itulah yang terasa hingga sampai penjuru dunia. Tak heran berbondong–bondong kawanan thalibul ilmi dari penjuru negeri tertarik untuk mendatangi kota ini dan menimba ilmu di dalamnya. Adat masyarakat yang menggambarkan akan bentuk pengamalan ilmu, sangat sering dijumpai di beberapa pemandangan kota. 
Syawari'u Tarim Syaikhu Man la Syaikha lah. Jalan-jalan Tarim adalah guru yang tak punya guru”. Kalimat legendaris yang selalu terdengung di telinga para penduduk asing negeri ini cukuplah menjadi sandaran akan fakta keilmuan yang disertai amal benar-benar nyata tumbuh di kota ini.
Wali Songo? Kenalkah kita siapa mereka? Dari mana mereka berasal? Kakek Wali Songo dimakamkan di kota ini. Negara Indonesia dengan warga muslim terbesar di dunia, telah mengakui akan keberhasilan dakwah yang dilakukan oleh dai-dai Hadhramaut dalam menyebarkan Islam. Terbukti ajaran agama Islam masuk ke dalam Indonesia tanpa pertumpahan darah, perseteruan, saling membenci dan kecintaan terhadap dunia.   Islam mengalir begitu saja ke dalam relung jiwa yang memang haus akan sifat fitri setiap umat manusia, mengenal dan kembali kepada penciptanya. Dakwah yang menjadi salah satu pilar penyangga agama adalah hal yang erat dipegang oleh para penduduk kota ini. Terlihat dari interaksi sosial masyarakat secara umum terhadap anggota masyarakat lain yang begitu kental dengan ajaran keagamaan. Salam, tegur sapa dan canda adalah bumbu renyah yang sering ditemui, bahkan warga asing, di mana saja dan kapan saja di kota ini.
Teduh, tentram, ialah kalimat terakhir yang bisa diambil dari kesan sesiapapun yang datang ke kota ini. Apalagi spiritualitas penduduknya, cukuplah mampu menjadi alat peredam kebisingan hiruk-pikuk perang yang sedang melanda negeri Yaman masa-masa ini.

*Tulisan ini telah dimuat dalam majalah an-Nadwa PPI Hadhramaut-Yaman

9 komentar: