Jumat, 10 Februari 2017

Bahtera Serdadu


Oleh: Muzakky Ihsan
واعلم أن الصبر والثبات اصل كبير في جميع الأمور
            "Ketahuilah!, Sabar dan konsisten, adalah asas dasar keberhasilan di segala bidang". Demikian sedikit cuplikan dari kitab Ta'lim al Muta'allim yang telah ditorehkan oleh Imam al-Zarnuji yang sangat fenomenal itu.

            Manusia yang berakal sehat pasti menyukai kebaikan. Namun hal yang sangat sukar diterapkan adalah tetap Konsisten dalam berbuat kebaikan tersebut. Pepatah arab mengatakan:
لكل إلي شأو العلی حركات   ***  ولكن عزيز في الرجال ثبات
"Semua mempunyai langkah gerak dalam mensukseskan hal-hal baik dalam kehidupan, namun sangat jarang dan sedikit yang mampu terus konsisten dalam menapaki langkah-langkah tersebut".

            Universitas al-Ahgaff, merupakan salah satu universitas yang berbasis tinggi dan ketat dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sehingga makna konsisten dan sabar lebih urgen agar sukses di dalamnya.

            Mahasiswa tidak hanya tertuntut untuk konsentrasi penuh pada malzamah tebal yang sangat melelahkan, tuntutan hadir secara kontinu, dan dosen agak pelit dalam memberikan nilai saat ujian merupakan tantangan tersendiri buat mereka.

            Sudah menjadi tradisi umum, saat badai ikhtibar tahunan tiba, banyak awak kapal Bahtera Serdadu yang berjatuhan karna hantaman ombak yang sangat besar dan melelahkan. Bahtera yang lemah akan tenggelam jika awak kapal tidak menjaga stabilitas dan kekompakan saat dihantam oleh badai.

            Bahtera Serdadu, salah satu kapal terbesar yang menampung warga Universitas al-Ahgaff dapat terus berlayar dengan gagah setelah mengarungi badai ikhtibar fashl awwal sejak empat minggu lalu, meskipun terombang-ambing di tengah gejolak ombak besar, dan beberapa awak kapal Bahtera cedera akibat hantaman badai minggu lalu.

            Peristiwa ini menjadi bahan evaluasi untuk para nahkoda dan awak kapal, bahwa kekompakan dan integritas yang selama ini meraih pujian bahkan apresiasi dari pihak teman belum cukup. Perlu adanya sinyal, gerak, dan geliat maksimal dalam aksi saling tarik-menarik, karna untuk sukses dari jebakan badai maha besar diperlukan adanya energi dan pasukan tambahan.

            Salah satu dosen Universitas al-Ahgaff pernah membawakan syi'ir Syeikh Ibn Abi Thohir berikut ini:
ومن تك نزهته قينة  ***  وكأس تحث وكأس تصب
فنزهتنا واستراحتنا  ***  تلاقي العيون ودرس الكتب
"Jika memang mendatangi konser dan bersulang minuman adalah liburan dan kesenangan mereka, maka tatap muka dengan para Ulama, menimba Ilmu kepada mereka, serta menelaah buku-buku salaf adalah kebahagian dan berlibur yang sesungguhnya bagi kita"

*الصحبة في طلب العلم ذكرياته لا تزول ولا تنسي أبدا.
اللهم اجعلنا و أصحابنا الذين عندهم الدور من الناجحين و الفائزين ...

اللهم كما قدرتنا السفر من البلاد معا نسألك ان تجعل رجوعنا اليه معا بالسلامة و العافية و البركة أمين....

Rabu, 11 Januari 2017

Tarim: Kota Ilmu, Amal dan Dakwah


Tarim: Kota Ilmu, Amal dan Dakwah
Oleh: Zainul Arifin Ahmad
“Sebuah kota adalah cerminan penduduknya”.

Tarim, dari sisi geografis terletak di lembah yang dikelilingi pegunungan batu. Luas kota ini hampir 2,325 km2. Ia memiliki dua musim yang berjalan dalam setahun, musim panas dan dingin. Pribumi penduduknya didominasi oleh orang–orang berkulit sawo matang, dengan postur tubuh rata 160 cm. Bangunan kotanya memiliki bentuk khusus, terbuat dari tanah liat dengan warna cokelat yang menutupi sisi luar tembok. Air yang melimpah membuat beberapa titik kota dihiasi kolam renang. Suasana masyarakat desa sangat terasa, dengan terlihat para penggembala yang masih mengembalakan hewan gembalaanya menuju padang ilalang.  
Seperti kaidah di atas, sejarah purnama-purnama di tengah gemerlap bintang malam ialah awal dari dikenalnya kota ini. Panji-panji kebenaran tertinggi din al-Islam yang menjadi dasar hidup dan impian para leluhur, membuat kokoh bangunan keagamaan milik masyarakat madani kota ini. Hingga tak heran gelar sebagai ibukota peradabaan Islam sempat tersematkan pada kota ini yang dianugerahkan oleh ISIESCO di tahun 2010 M.
Di dalam buku Tarim bainal Madli wal Hadir, dikatakan bahwa kota ini sudah dikenal semenjak era sebelum Islam sebagai kota perdagangan, tepatnya pada abad 4 SM. Saat itu peradaban negeri Saba runtuh dan digantikan oleh peradaban Himyariah. Tarim saat itu adalah nama yang diambil dari nama penguasanya, Tarim bin Hadhramaut bin Saba al-Ashghar. Sehingga pada saat fajar Islam datang, diutuslah seorang utusan dari kota ini yang dipimpin oleh Al-Asy'ats bin Qays al-Hindy untuk memahami wahyu ilahi di Madinah. Watak keluhuran budi pekerti yang menempel pada mereka membuat Rasulullah Saw. mengucapkan pujianya terhadap mereka, “Amanah itu berada di Azd dan Hadramaut. Maka, mintalah pertolongan pada mereka”. (Musnad Abu Qilabah).
Riwayat yang masyhur juga mengatakan bahwa sahabat Abu Bakar Ra. Tak mau ketinggalan juga untuk mendoakan kebaikan kota seribu wali ini setelah menyaksikan ketaatan penduduknya. Doa sahabat Abu Bakar Ra. seketika masuk ke ruang tanpa waktu, tak berselang lama purnama– purnama itu bermunculan. Sebutlah saja nama-nama: Imam al-Faqih al-Muqaddam, Habib Abdurrahman As-Seggaf, Imam Al-Haddad, Imam Umar al-Muhdhor dll.—rahimahumullah.
Cahaya yang mereka bawa mulai memasuki lorong gelap kota ini. Guna mengawal perjuangan, dibutuhkanlah masjid, zawaya dan madrasah sebagai pusat pengajian keilmuan. Disebutkan dalam buku Tarim 'Ashimatu Ats-Saqafah Al-Islamiyah oleh ahli sejarah Umar bin Alawy al-Kaff pada tahun 1407 H bawa, jumlah masjid yang berdiri telah mencapai 119 buah. Ini merupakan jumlah besar yang membuktikan akan kuatnya prinsip keagamaan masyarakat kota Tarim. Bukti lain akan keseriusan para leluhur dalam memperjuangkan tegaknya agama Islam ialah terukirnya tinta para purnama yang tak sedikit telah memenuhi perbendaharaan keilmuan Islam di muka bumi ini. Muqaddimah Hadramiah, Risalah Muawanah, Nashaihud Diniyah, Safinatun Najah, Qamus Muhith dan masih lebih banyak lagi.
Keilmuan tinggi tanpa amal yang imbang membuat hakikat ilmu menjadi tandus. Api yang menyala tanpa ada rasa hangat yang ditimbulkanya pun, tidaklah banyak guna. Tanggung jawab di dalam menjalankan hidup yang dirasakan oleh mereka membuat hidup zuhud, wara', al-amal bil ilmi dan tawakkal. Itulah prinsip yang harus terus ditanamkan sehingga tumbuh kokoh pada masanya. Buah itulah yang terasa hingga sampai penjuru dunia. Tak heran berbondong–bondong kawanan thalibul ilmi dari penjuru negeri tertarik untuk mendatangi kota ini dan menimba ilmu di dalamnya. Adat masyarakat yang menggambarkan akan bentuk pengamalan ilmu, sangat sering dijumpai di beberapa pemandangan kota. 
Syawari'u Tarim Syaikhu Man la Syaikha lah. Jalan-jalan Tarim adalah guru yang tak punya guru”. Kalimat legendaris yang selalu terdengung di telinga para penduduk asing negeri ini cukuplah menjadi sandaran akan fakta keilmuan yang disertai amal benar-benar nyata tumbuh di kota ini.
Wali Songo? Kenalkah kita siapa mereka? Dari mana mereka berasal? Kakek Wali Songo dimakamkan di kota ini. Negara Indonesia dengan warga muslim terbesar di dunia, telah mengakui akan keberhasilan dakwah yang dilakukan oleh dai-dai Hadhramaut dalam menyebarkan Islam. Terbukti ajaran agama Islam masuk ke dalam Indonesia tanpa pertumpahan darah, perseteruan, saling membenci dan kecintaan terhadap dunia.   Islam mengalir begitu saja ke dalam relung jiwa yang memang haus akan sifat fitri setiap umat manusia, mengenal dan kembali kepada penciptanya. Dakwah yang menjadi salah satu pilar penyangga agama adalah hal yang erat dipegang oleh para penduduk kota ini. Terlihat dari interaksi sosial masyarakat secara umum terhadap anggota masyarakat lain yang begitu kental dengan ajaran keagamaan. Salam, tegur sapa dan canda adalah bumbu renyah yang sering ditemui, bahkan warga asing, di mana saja dan kapan saja di kota ini.
Teduh, tentram, ialah kalimat terakhir yang bisa diambil dari kesan sesiapapun yang datang ke kota ini. Apalagi spiritualitas penduduknya, cukuplah mampu menjadi alat peredam kebisingan hiruk-pikuk perang yang sedang melanda negeri Yaman masa-masa ini.

*Tulisan ini telah dimuat dalam majalah an-Nadwa PPI Hadhramaut-Yaman

BELAJAR DI HADHRAMAUT

BELAJAR DI HADHRAMAUT
Oleh : Rizky Daniel Fatahillah
“Ilmu akan lebih baik bila diambil langsung dari sumber asalnya,” kiranya mantra sakti inilah yang juga mendorong para pelajar yang hendak memperdalam ilmu agama Islam hingga datang beramai-ramai ke Timur Tengah. Ya, sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama atau syariat Islam tumbuh dan berkembang di Timur Tengah, tepatnya di Hijaz (Mekah dan Madinah). Akan tetapi dari sekian banyak tempat di Timur Tengah yang menjadi pusat belajar ilmu-ilmu keislaman, berapa banyakkah dari calon pelajar kita yang melabuhkan pilihannya ke Hadhramaut? Bahkan mungkin sebagian pembaca mendengar namanya saja baru kali ini.
Nah, kurangnya pengetahuan akan Hadhramaut inilah yang menjadi faktor minimnya minat para pelajar kita untuk melabuhkan pilihannya ke Hadhramaut. Lebih parahnya lagi, ada sebagian oknum tidak bertanggung jawab yang mengunderastimade Hadhramaut sebagai tempat menimba ilmu-ilmu keislaman hanya dengan berlandaskan hawa nafsu dan opini-opini yang tidak beralasan. Padahal jika output (baca: alumni) dari suatu lembaga pendidikan menjadi tolak ukur kualitas lembaga pendidikan tersebut, maka Hadhramaut adalah sebagai lembaga besar pencetak dai-dai. Dari sanalah asal muasal tersebarnya Islam di Indonesia.
Bila kita runut sejarah tentang kedatangan Islam ke Indonesia, maka kita akan mendapati dalam buku-buku sejarah yang muktamad (menjadi acuan) bahwa datangnya Islam ke Indonesia adalah melalui jalur perdagangan dari Gujarat-India yang mayoritas adalah dari keluarga Azamatkhan. Nah, keluarga Azamatkhan inilah yang mulanya berasal dari Hadhramaut. Mereka adalah alawiyin (keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari jalur Sayidina Husen Radhiyallahu anhu) dari Hadhramaut yang hijrah untuk berdakwah dan berdagang ke India. Di sanalah mereka digelari Azamatkhan oleh orang-orang India yang artinya keluarga yang terhormat. Adapun yang pertama kali digelari dengan gelar tersebut adalah Sayid Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali` Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dan terus bersambung nasabnya hingga Sayyidah Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[1]
Itulah sebabnya mengapa masyarakat Indonesia pada umumnya bermazhab dengan mazhab yang juga dianut oleh Hadharim (bentuk jamak dari Hadhrami yang berarti orang Hadhramaut) begitu juga amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh orang Indonesia memliki banyak kesamaan dengan amalan-amalan yang dilakukan oleh orang Hadhramaut. Selain itu, bukti lain bahwa Hadhramaut memiliki peran utama dan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah banyaknya kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dipimpin oleh keturunan Hadhramaut. Contohnya Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sayid Badrul Alam as-Syarif Ibrahim bin Hasyim Jamalullail, Kerajaan Siak yang dipimpin oleh keturunan Sayid Utsman bin Abdurrahman bin Syihab, Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Sayid Muhammad bin Alwi al-Jufri, Kerajaan Pontianak yang dipimpin oleh Sayid Abdurrahman bin Husen al-Qadri dan masih ada lagi kerajaan-kerajaan lain di mana keturunan Hadhramaut berkiprah. Tentunya kepemimpinan pada suatu kerajaan juga menjadi faktor yang sangat strategis demi tersebarnya dakwah Islam.[2]
Maka teranglah sudah bahwa underastimade yang dilontarkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut sangat tidak beralasan. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa faktor penting penunjang kegiatan belajar mengajar adalah kondusifitas dan stabilitas negara tersebut. Memang benar, akhir-akhir ini di beberapa daerah Yaman masih belum kondusif akibat efek perang saudara yang terjadi tempo hari. Namun nyatanya itu sama sekali tidak mempengaruhi kegiatan belajar para pelajar Indonesia yang sebagian besar berpusat di kota Tarim maupun kota-kota lain di Hadhramaut. Sebab dari sekian provinsi di Yaman, Hadhramautlah yang paling sedikit terkena pengaruh dari perang saudara tersebut. Efek-efek yang dihasilkan di sini hanya berputar pada kelangkaan bahan bakar yang ditahan oleh pasukan oposisi, fluktuasi nilai dolar yang tidak stabil dan hal-hal lain yang kiranya tidaklah menjadi penghalang bagi thalib ilm (penuntut ilmu). Bahkan Hadharim sendiri menanggapinya dengan begitu santai seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Oleh karena itu, kini saatnya untuk kita agar lebih terbuka dan lebih objektif dalam menilai dan memilih sesuatu agar apa yang kita pilih itu sesuai dengan apa yang kita butuhkan dan cita-citakan. Sebab pada dasarnya setiap tempat dan lingkungan yang disediakan untuk para penuntut ilmu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Seperti metode pendidikan Hadhramaut yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Mulai dari mazhab fikih Syafi`i yang sama-sama dianut dan dipelajari oleh kedua negara, sampai sifat dan corak Islam yang sama-sama santun, ramah, fleksibel dan penuh kearifan yang dimiliki oleh kedua negara. Tak heran, karena seperti apa yang telah diterangkan sebelumnya bahwa Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang dibawa oleh para dai dari Hadhramaut.
*Tulisan ini telah dimuat dalam majalah an-Nadwa PPI Hadhramaut-Yaman



[1] Alwi Hamid Syihab, Tarim `Ashimah ats-Tsaqafah al-Islamiyyah 2010 M (Tarim: Wizarah ats-Tsaqafah Publisher)
[2] Ibid

Mengenal Prof. Habib Abdulloh bin Muhammad Baharun


Mengenal Prof. Habib Abdulloh bin Muhammad Baharun;
Permata Tersembunyi di Lembah Hadhramaut
Oleh : Munandar Harist

Namanya memang tidak semasyhur Habaib (bentuk plural dari Habibketurunan nabi Muhammad S.A.W) lain dari provinsi Hadhramaut. Namun seperti keelokan yaqut, keindahan dan kecantikannya tidak bisa disadari oleh setiap orang.
Bila selama ini kita hanya mengenal nama-nama seperti Habib Umar bin Hafidz dan Habib Salim Asy-Syatiri sebagai ulama dan cendikiawan muslim dari lembah Hadhramaut, maka perkenalkanlah seorang tokoh yang lain. Beliau adalah Abdullah Muhammad Abdurrahman Baharun. Lahir di kota Syihir, 1 Januari 1956. Habib Abdullah kecil pada akhirnya tumbuh menjadi seorang cendikiawan muslim seperti ulama lainnya. Menjelang usianya yang keenam puluh satu tahun ini, tidak terasa hampir 20 tahun sudah beliau menanggung amanat sebagai rektor sebuah universitas di provinsi Hadhramaut, Al-Ahgaff University.
            Terlahir di tengah-tengah keluarga yang taat beragama, Habib Abdullah nyatanya memang memiliki kesamaan dengan orang-orang saleh Hadhramaut lain pada umumnya. Secara pribadi, beliau lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan yang berfaham akidah ahlussunah wal jamaah. Tanpa menganggap remeh mazhab lain, beliau mengambil mahzab Syafi’i sebagai mazhab fikihnya dan tarekat Ba’alawi sebagai jalan tasawufnya. Hal ini menyebabkan Habib Abdullah cenderung jauh dari kata kontroversial.

Antara Habib Abdullah, Cinta dan Indonesia
            “Beliau terkadang bilang, Indonesia ini punya hubungan yang sangat erat dengan Hadhramaut, khususnya Ahlulbait. Sebagaimana para salaf datang menyebarkan Islam di Indonesia, beliau berusaha agar hubungan itu tetap terjaga,ujar salah seorang murid yang cukup dekat dengan beliau.
            Cerita tentang kecintaan Habib Abdullah terhadap Indonesia memang sudah tidak dapat diragukan lagi. Terlebih terhadap para penuntut ilmu, Habib Abdullah tidak segan-segan menganggap pelajar Indonesia sebagai putra-putrinya. Fakta yang paling nyata adalah sikap beliau manakala terjadi evakuasi besar-besaran ketika terjadi konflik Syiah Houthi dan pemerintah Yaman di tahun 2015.
            Dengan segala kebijaksanaanya, Habib Abdullah mengizinkan para pelajar di universitasnya pulang ke Indonesia untuk menentramkan hati orang tua mereka. Selang beberapa bulan, melihat realita tidak ada kepastian sikap dari pemerintah Indonesia, Habib Abdullah memutuskan berangkat ke Indonesia. Beliau mencari bantuan sedemikian rupa hingga terwujudlah kelas darurat yang diselenggarakan di kota Gresik agar pendidikan para mahasiswanya tidak terbengkalai begitu saja.
            Selama hampir setahun berdomisil di Indonesia, Habib Abdullah kerap kali mengisi seminar di berbagai pondok pesantren, lembaga pendidikan, hingga majelis dan kajian-kajian Islami. Hal ini sengaja beliau lakukan semata-mata demi kecintaannya terhadap ilmu dan juga Indonesia. “Beliau ini bukan orang Indonesia. Tapi begitu cinta dengannya. Bahkan beliau itu memikirkan Indonesia,” aku Buya Yahya dalam sebuah majlis.
            Setidaknya, ada dua aspek yang sangat sering beliau tekankan dalam berbagai kesempatan. Aspek pertama adalah aspek cinta. Aspek ini meliputi cinta terhadap apa saja berikut realisasinya. Cinta terhadap keluarga berikut bentuk ucapan terimakasih kita. Pun juga cinta terhadap Nabi Muhammad berikut bentuk ketaatan kita kepadanya dan lain sebagainya.
            Aspek lain yang tak kalah penting adalah aspek ideologi. Beliau kerap kali memberikan penekanan terhadap hal tersebut. Bukan sebuah hal yang mengherankan, mengingat dewasa ini berbagai ideologi menyimpang semakin gencar dan bebas berkeliaran di Indonesia khususnya.
            Meskipun terkesan tidak mengenal kompromi terhadap ideologi menyimpang, Habib Abdullah pada kenyataannya adalah sosok yang ramah. Pembawaannya yang murah senyum membuat kita senang memandangi wajahnya. Sikap moderat, toleran dan kecerdasan interaksi dan pemikirannya sangat dikagumi di Indonesia dan Malaysia. Hal inilah yang membuat beliau kerapkali dianggap sebagai orang saleh.
            Memang, sampai saat ini Habib Abdullah tidak memiliki popularitas ulama tingkat dunia. Karena memang bagaimanapun bukan itu hal yang beliau cari. Seperti sebuah yaqut—yang mana keindahan dan nilai berharganya tidak dapat diketahui semua orang—Habib Abdullah dan segala pesonanya bersifat mastur, tertutup tidak terkenal.


*Tulisan ini telah dimuat dalam majalah an-Nadwa PPI Hadhramaut-Yaman