BELAJAR DI HADHRAMAUT
BELAJAR DI HADHRAMAUT
Oleh : Rizky Daniel Fatahillah
“Ilmu akan lebih baik bila diambil langsung dari sumber asalnya,”
kiranya mantra sakti inilah yang juga mendorong para pelajar yang hendak
memperdalam ilmu agama Islam hingga datang beramai-ramai ke Timur Tengah. Ya,
sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama atau syariat Islam tumbuh dan
berkembang di Timur Tengah, tepatnya di Hijaz (Mekah dan Madinah). Akan tetapi
dari sekian banyak tempat di Timur Tengah yang menjadi pusat belajar ilmu-ilmu
keislaman, berapa banyakkah dari calon pelajar kita yang melabuhkan pilihannya
ke Hadhramaut? Bahkan mungkin sebagian pembaca mendengar namanya saja baru kali
ini.
Nah, kurangnya pengetahuan akan Hadhramaut inilah yang menjadi
faktor minimnya minat para pelajar kita untuk melabuhkan pilihannya ke
Hadhramaut. Lebih parahnya lagi, ada sebagian oknum tidak bertanggung jawab
yang mengunderastimade Hadhramaut sebagai tempat menimba ilmu-ilmu
keislaman hanya dengan berlandaskan hawa nafsu dan opini-opini yang tidak beralasan.
Padahal jika output (baca: alumni) dari suatu lembaga pendidikan menjadi
tolak ukur kualitas lembaga pendidikan tersebut, maka Hadhramaut adalah sebagai
lembaga besar pencetak dai-dai. Dari sanalah asal muasal tersebarnya Islam di
Indonesia.
Bila kita runut sejarah tentang kedatangan Islam ke Indonesia, maka
kita akan mendapati dalam buku-buku sejarah yang muktamad (menjadi
acuan) bahwa datangnya Islam ke Indonesia adalah melalui jalur perdagangan dari
Gujarat-India yang mayoritas adalah dari keluarga Azamatkhan. Nah,
keluarga Azamatkhan inilah yang mulanya berasal dari Hadhramaut. Mereka adalah alawiyin
(keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari jalur
Sayidina Husen Radhiyallahu anhu) dari Hadhramaut yang hijrah untuk
berdakwah dan berdagang ke India. Di sanalah mereka digelari Azamatkhan oleh
orang-orang India yang artinya keluarga yang terhormat. Adapun yang pertama
kali digelari dengan gelar tersebut adalah Sayid Abdul Malik bin Alwi bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali` Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dan terus bersambung nasabnya hingga Sayyidah
Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[1]
Itulah sebabnya mengapa masyarakat Indonesia pada umumnya bermazhab
dengan mazhab yang juga dianut oleh Hadharim (bentuk jamak dari Hadhrami
yang berarti orang Hadhramaut) begitu juga amalan-amalan yang biasa
dilakukan oleh orang Indonesia memliki banyak kesamaan dengan amalan-amalan
yang dilakukan oleh orang Hadhramaut. Selain itu, bukti lain bahwa Hadhramaut
memiliki peran utama dan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah banyaknya
kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dipimpin oleh keturunan Hadhramaut.
Contohnya Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sayid Badrul Alam as-Syarif Ibrahim
bin Hasyim Jamalullail, Kerajaan Siak yang dipimpin oleh keturunan Sayid
Utsman bin Abdurrahman bin Syihab, Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Sayid
Muhammad bin Alwi al-Jufri, Kerajaan Pontianak yang dipimpin oleh Sayid
Abdurrahman bin Husen al-Qadri dan masih ada lagi kerajaan-kerajaan lain di
mana keturunan Hadhramaut berkiprah. Tentunya kepemimpinan pada suatu kerajaan
juga menjadi faktor yang sangat strategis demi tersebarnya dakwah Islam.[2]
Maka teranglah sudah bahwa underastimade yang dilontarkan
oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut sangat tidak beralasan. Sebagian
ada pula yang mengatakan bahwa faktor penting penunjang kegiatan belajar
mengajar adalah kondusifitas dan stabilitas negara tersebut. Memang benar,
akhir-akhir ini di beberapa daerah Yaman masih belum kondusif akibat efek
perang saudara yang terjadi tempo hari. Namun nyatanya itu sama sekali tidak
mempengaruhi kegiatan belajar para pelajar Indonesia yang sebagian besar
berpusat di kota Tarim maupun kota-kota lain di Hadhramaut. Sebab dari sekian
provinsi di Yaman, Hadhramautlah yang paling sedikit terkena pengaruh dari
perang saudara tersebut. Efek-efek yang dihasilkan di sini hanya berputar pada
kelangkaan bahan bakar yang ditahan oleh pasukan oposisi, fluktuasi nilai dolar
yang tidak stabil dan hal-hal lain yang kiranya tidaklah menjadi penghalang
bagi thalib ilm (penuntut ilmu). Bahkan Hadharim sendiri
menanggapinya dengan begitu santai seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Oleh karena itu, kini saatnya untuk kita agar lebih terbuka dan
lebih objektif dalam menilai dan memilih sesuatu agar apa yang kita pilih itu
sesuai dengan apa yang kita butuhkan dan cita-citakan. Sebab pada dasarnya
setiap tempat dan lingkungan yang disediakan untuk para penuntut ilmu memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Seperti metode pendidikan Hadhramaut
yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia secara umum.
Mulai dari mazhab fikih Syafi`i yang sama-sama dianut dan dipelajari oleh kedua
negara, sampai sifat dan corak Islam yang sama-sama santun, ramah, fleksibel
dan penuh kearifan yang dimiliki oleh kedua negara. Tak heran, karena seperti
apa yang telah diterangkan sebelumnya bahwa Islam yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia adalah Islam yang dibawa oleh para dai dari Hadhramaut.
*Tulisan ini telah dimuat dalam majalah an-Nadwa PPI
Hadhramaut-Yaman
Tidak ada komentar: