MEMAKNAI TAHUN BARU HIJRIAH DENGAN HIJRAH
Tidak terasa kita sudah membuka lembaran baru di tahun baru ini 1438 H, berarti tidak terasa usia kita kian bertambah, bagi sebagian orang mungkin sudah mempunyai perencanaan matang mengisi tahun baru dengan berbagai aktivitas bermanfaat. Namun tak jarang sebagian kita masih kebingungan memanfaatkan tambahan umur yang diamanahkan kepadanya.
Dalam hal ini, nasehat Imam Al-Ghazaly, patut menjadi bahan renungan: “Di antara tanda diabaikannya seorang hamba oleh Allah SWT adalah dibiarkannya hamba itu menyibukkan diri pada hal hal yang tidak mendatangkan manfaat baginya. Dan sungguh bahwa berlalunya waktu dari umur seorang hamba yang digunakan untuk selain ibadah yang merupakan tujuan penciptaan, sepatutnya menjadi penyesalannya yang berkepanjangan”. (Ayyuhal Walad)
Disadari ataupun tidak, bahwa pergantian tahun biasanya selalu identik dengan berbagai fasilitas tindak keburukan, terlebih ketika perayaan tahun baru masehi. Ribuan orang terlelap dalam euphoria gemerlapnya malam pergantian tahun. Kembang api dinyalakan, konser musik di mana-mana. Semua itu sudah cukup menunjukkan betapa banyaknya orang yang salah kaprah dalam memaknai arti dan hikmah di balik penciptaan tahun dan waktu tersebut.
Selaras dengan itu, Zubair bin ‘Adi pernah berkata: “Kami pernah mendatangi Anas bin Malik RA, untuk mengutarakan kepadanya keluh kesah kami tentang ulah Al-Hajjaj (bin Yusuf). Maka beliau menjawab: bersabarlah kalian, sebab tidaklah kalian berada pada suatu zaman melainkan zaman setelahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian (hingga datangnya hari kiamat). Aku mendengar hal ini dari Rasulullah SAW (H.R Bukhari).
Hidup ini adalah pertanyaan, dan Islam hadir sebagai jawaban. Maka sudah sepatutnya kita mencari solusi dari permasalahan ini dari konteks syari’at Islam yang terabadikan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Ya, syari’at-syari’at dan adab-adab dalam Islam bermuara pada satu makna besar, yakni pentingnya waktu dan nilainya pada setiap sisi dan bagiannya.
Momentum pergantian tahun baru hijriah diawali ketika Rasulullah SAW dan kaum muslimin Mekkah saat itu sudah sangat banyak merasakan penderitaan dari kekejaman kaum kafir Quraisy, untuk menghindari itu, Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Dengan niat sembari menyelamatkan syari’at Allah SWT. Momentum inilah yang kemudian dijadikan oleh Sayyidina Umar bin Khattab sebagai titik mula penanggalan tahun hijriah berdasarkan pada pergerakan bulan mengelilingi bumi. Yang akhirnya kita peringati setiap dua belas bulan sekali.
Sudah jelas, sebagai solusinya, Islam senantiasa menganjurkan umatnya berhijrah. Pada dasarnya hijrah bermakna pindahnya seseorang dari negeri kufur menuju negeri Islam atau negeri aman. Ia juga berarti hijrah hal, yaitu berpindahnya dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang lebih baik. Ibnu Hajar berkata: “Hijrah itu dua jenis; lahiriyah dan batiniyah. Hijrah batin adalah meninggalkan seruan nafsu dan kehendak jahat, sedangkan hijrah lahir adalah meninggalkan fitnah untuk menjaga agama”. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim itu adalah orang yang membuat nyaman orang orang muslim lainnya dari lidah dan tangannya. Sedangkan orang berhijrah itu (Muhajir) adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah”. (H.R bukhari).
Hijrah fisik hendaknya dilandasi dengan hijrah hati dan hijrah hati hendaknya dilandasi dengan kebaikan niat. Rasulullah bersabda : “barang siapa yang berhijrah kepada (kecintaan) Allah dan Rasulnya, maka ia berhijrah kepada (kecintaan) Allah dan Rasulnya, dan barang siapa yang berhijrah karena ingin mengejar gemerlap dunia, atau mengejar perempuan yang ingin dia nikahi, maka ia berhijrah kepada hal tersebut (yang dia niatkan)”.
Maka muhajir adalah orang yang berhijrah dari kecintaannya kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari ketergantungan kepada selain-Nya menuju kepada-Nya, dari berharap kepada selain-Nya menuju kepada-Nya. Demikianlah makna epistemologis hijrah yang terintegrasikan dalam bangunan niat. di mana landasannya tidak lain hanyalah sikap taat, dan ikhlas hanya karena-Nya.
Di samping itu, hijrah adalah salah satu bentuk solusi atas tekanan kaum kafir dan demi efektivitas dakwah. Hijrah adalah tradisi para Nabi dan juga para Salaf As-Sholih. Nabi Musa AS berhijrah tatkala seruannya bertauhid ditentang hebat oleh Fir’aun. Imam Muhajir Ahmad bin Isa berhijrah tatkala kondisi Baghdad kala itu tidak kondusif lagi untuk kemurnian tauhid keluarganya, akhirnya beliau berhijrah ke Hadhramaut dan efektivitas dakwahnya kemudian berkembang pesat setelah beliau berhijrah.
Keterjalinan makna hijrah dengan niat sangatlah jelas. Namun begitu, kata hijrah seringkali dikelirukan sebatas makna bahasa dan memisahkannya dari nilai nilai spiritualnya. Dikalangan masyarakat awam misalnya, kata hijrah diartikan pindah, merantau, boyongan, dst. Sehingga kepindahan seorang Ronaldo atau David Beckham dari real madrid pun disebut hijrah. Bahkan pengebor dangdut pun bisa dikatakan berhijrah jika pindah haluan menjadi penyanyi rock. Maka kerancuan penggunaan kata ini, akhirnya meniscayakan keabsahan adanya hijrah politik, hijrah profesi ataupun hijrah hobi. Padahal Rasulullah SAW mengingatkan bahwa segala amalan tanpa dilandasi dengan keikhlasan dan niat yang baik hanyalah sia sia. Bahkan sebaliknya, hanya menambah daftar sosok “muhajir ummu qais”, pemuda yang turut hijrah ke Madinah demi mendapatkan pujaan hatinya.
Maka ketika momentum pergantian lembaran tahun baru ini, marilah perbarui niat, kuatkan asa, mantapkan hati, berlari dan kembali kepada Allah. Kabur dari sesuatu yang tidak disukai dan menyebabkan turunnya kemurkaan-Nya, menuju kondisi yang penuh dengan rahmat, kasih dan ihsan Allah SWT. Tak peduli seberapa banyak dosa yang telah kita lakukan, Allah SWT maha pengampun, jika kita bertaubat dan terus memperbaiki diri dengan berhijrah. Nabi SAW bersabda: “Hijrah itu tidak akan terputus hingga ditutupnya pintu taubat, dan taubat itu tidak pernah tertutup sampai terbitnya matahari dari barat” (H.R Abu Dawud). Dalam hadist ini, kata hijrah yang disertai dengan kata taubat memberi makna bahwa setiap kali orang yang bertaubat dari dosanya dan senantiasa memperbarui taubatnya itu, maka berarti ia telah memperbarui hijrahnya menuju Allah SWT. Yuk berhijrah! J .
- Oleh: Qism Tarbiyyah Li Ad-Duf’ah ‘isyrin (Serdadu Ahgaff). (red/Sayf Arif)
Tidak ada komentar: