ANTARA KITAB KUNING DAN BUKU
*Oleh: Muhammad Muslich Mahasiswa tingkat II Ahgaff Univesity
Kenapa
minat terhadap kitab kuning menurun di kalangan santri. Tulisan ini sebenarnya
menyadarkan kita bahwa kitab kuning hadir dengan tata caranya sendiri dan tidak
bisa ditafsirkan begitu saja.
Kitab
kuning adalah kitab yang sepenuhnya intelektual. Bahasa Arab yang digunakan
adalah bahasa Arab dengan tingkatan sastra tertentu. Bahasa Arab kitab kuning
berbeda dengan bahasa Al-Quran. Bahasa Al-Quran sebagaimana perkataan Imam Ali,
adalah hammalun dzu wujuh (mengandung beragam kemungkinan interpretasi).
Sedangkan
kitab kuning adalah interpretasi itu sendiri. Bahasa kitab kuning adalah bahasa
yang dilingkupi konteks dan ideologi sang pengarang. Bukan perkara yang mudah
untuk bisa membaca kitab kuning, apalagi membacanya lepas tanpa bimbingan guru.
Tradisi
pesantren mengajarkan kitab kuning dipelajari dengan jalur sanad,
maksudnya melalui rataian keilmuan dari pengarang kitab (baca: mushannif),
sampai pengajar kitab yang bersangkutan hari ini. Sanad keilmuan dijaga agar
penafsiran kitab kuning tidak melenceng dari penafsiran orisional sang
pengarang kitab tersebut.
Pengajar
kitab kuning merupakan rantai silsilah ilmu sang pengarang. Dalam tradisi
pesantren pula, sang pengajar bisa mengajarkan kitab kuning asal mendapat izin
khusus otoritatif (ijazah) dari sanad di atasnya. Ada kalanya ijazah
itu bernuansa mistis, yang mengharuskan murid melakukan riyadhah khusus.
Sanad
dan ijazah pun mengakibatkan kitab kuning tampil dengan dua wajah, populer
dan elitis. Populer karena kitab kuning mudah ditemukan di mana-mana, elitis
karena kitab kuning tidak bisa dipelajari secara otodidak. Dunia kitab kuning
adalah dunia kosmologis yang unik karena melibatkan sanad, ijazah,
silisilah ulama' dan terkadang juga bernuansa mistis.
Namun moderninasasi
meluluhkan semuanya, kitab kuning dicetak dalam bentuk digital, contohnya Maktabah
Syamilah. Auranya tidak lagi mistis, melainkan murni ilmiah. Lebih unik
lagi, kitab kuning dipelajari secara otodidak tanpa guru seperti yang terjadi
di kampus-kampus. Para orientalis termasuk mereka yang mengaji kitab kuning
tanpa harus berguru pada seorang ulama'.
Kitab
kuning juga banyak diterjemahkan dalam bentuk buku. Buku-buku tersebut
benar-benar menjadi referensi ilmiah populer yang multitafsir. Membacanya pun
tak memerlukan kewajiban menghadiahkan Fatihah kepada sang pengarang.
Hadirnya
kitab kuning digital dan buku-buku terjemahan mengakibatkan masyarakat mudah
mengakses ilmu agama. Hal itu baik, karena ilmu tidak lagi elitis. tetapi buruk
karena ilmu agama tak lagi metodis dan sistematis.
Ilmu agama,
sebagaimana ilmu umum tentunya juga mensyaratkan sistematis. Contohnya, dalam
ilmu nahwu diwajibkan membaca kitab Jurumiyah kemudian Imrithi,
Syarah Ibnu Aqil dan Alfiyah. Urutan tersebut juga
dapat kita jumpai dalam ilmu sharaf, fiqh, tafsir dan tasawuf.
Membaca
kitab kuning secara meloncat-loncat justru akan melahirkan pemahaman yang tak
utuh, terpisah dan subjektif, Apalagi, tak semua kitab kuning diterjemahkan secara
sistematis.
Belajar
agama dari buku-buku justru berpotensi melahirkan ketidakseimbangan
intelektual. Selain tidak mengikuti urutan-urutan sistematika kitab, tidak
semua karya ulama' yang diterjemahkan. Membaca karya para ulama' tidak secara
total akan menimbulkan distorsi dan mispersepsi.
Contohnya
membaca karya Imam Nawawi seperti Arba'in An-Nawawiyah atau Riyadhus
shalihin tanpa membaca lebih dahulu Tahdzib asma' Wal
Lughat akan menghasilkan konklusi yang keliru. Contoh lain tudingan kaum
puritan terhadap muslim tradisionalis tentang bid'ah biasanya dimulai
dengan ketidak runtutan dalam membaca karya-karya Imam Nawawi secara
menyeluruh.
Dunia kitab
kuning dan dunia buku adalah dunia dengan kontroversi masing-masing. Kehadiran
buku jangan dianggap antitesis terhadap kitab kuning. Jadikan buku sebagai
pendamping kitab kuning. Buku dan kitab kuning, sebagaimana tradisi pesantren,
bersifat ikhtilaf tanawwu' (variasi yang melengkapi). Kehadiran
buku-buku agama akan mempermudah akses ilmu agama di era modern, ketika konservatisme
dituding ketinggalan zaman. Karena itu, mari membaca buku dan kitab kuning
sekaligus.
Wallahu a'lam...
Tidak ada komentar: