KAUM YANG TERLUPAKAN
Oleh:
Musthafa al-Muhdhor
Teringat perjuangan 22 oktober tahun 1945 guna
membentengi dan mempertahankan Negara dan bangsa yang dilakukan oleh segerombolan
orang yang kurang dianggap di mata negara dan bangsa. Jiwa dan raga, mereka serahkan
dan abdikan hanya untuk Indonesia. Jasad dan ruh mereka jadikan tameng bagi
bangsa. Masa depan mereka, mereka tutup secara paksa demi masa depan negri.
Dedikasi diri dan darah mereka hampir tak teringat, bahkan tak diketahui oleh
bangsa mereka sendiri. Memang mereka bersumbangsih dan mengabdi dengan ihklas
dan tanpa pamrih. Tapi pengorbanan itu benar-benar tidak dapat ruang sedikitpun
dalam sejarah, bahwa para kyai dan santri telah ikut serta dalam mengisi
barisan nama-nama pahlawan bangsa, padahal mereka sangatlah layak menyandang
gelar tersebut.
Negri ini butuh yang namanya teladan dari berbagai sisi
dan elemen, nasionalis yang berbau agama, dan agamawan yang bernasionalisme.
Sangatlah signifikan bagaimana gambaran perjuangan, visi dan nilai etik dari para
kiai dapat diteladani pada masa kini, yakni berjuang untuk bangsa Indonesia,
pada bidang keahlian apapun. Menjaga agar bangsa ini tetap bersatu, tidak
terpecah belah.
Pola politik pecah
belah dan adu-domba (devide et empera) yang menjadi strategi masa kolonial
masih terjadi hingga saat ini. “Sejarah mencatat bahwa para santri dan
orang-orang Tionghoa bersatu dalam perjuangan melawan penjajah. Hal ini, tampak
pada masa Perang Kuning (1740-1743) dan Perang Jawa (1825-30), juga pada
masa-masa akhir abad ke-19. Namun politik Belanda memecah mereka dengan jurang
pemisah, baik struktural maupun kultural. Sekarang ini, terlihat bagaimana adu
domba juga terjadi di berbagai sektor, misalnya antar ideologi Islam hingga
kepemimpinan. Kita harus belajar dari sejarah, agar menjadi waspada dan
mengerti pola strategi politik.
Para kyai dan kaum
santri, jelas menjadi benteng penting kokohnya NKRI. Kalau ingin ditelusuri
lagi, sebenarnya perjuangan nasional tidak bermula pada 1908, ketika Budi
Oetomo berdiri. Akan tetapi perjuangan nasional sudah dimulai sejak masa
Diponegoro, ketika para kyai menjadi lingkaran penting untuk menggerakkan
santri dan warga melawan penjajah. Ketika Perang Jawa berakhir, para kyai
kemudian melakukan konsolidasi dengan mendirikan pesantren di berbagai daerah
untuk merawat jaringan santri, yang kemudian bergerak pada perjuangan
kemerdekaan di berbagai penjuru Nusantara.
Inilah fakta bukan fiktif, inilah yang nyata bukan yang
buta. Ya, mungkin mereka (sejarawan bangsa) memeng berusaha menghapus sejarah
santri dan kyai, entah mereka orang yang benci akan Islam, atau justru orang Islam
sendiri yang tidak senang dengan saudaranya muslim. Tapi menurut penulis,
mereka itu buta hati dan tidak memiliki rasa kemanusiaan serta jauh dari jiwa
nasionalisme.
Tidak ada komentar: