Header Ads

Breaking News
recent

Wanita antara Undang-Undang dan Fiqih


المرأة بين القانون والفقه

(Wanita antara Undang-Undang dan Fiqih)

*Oleh: Sayyid Musthafa Muhdhor



   

PROLOG:

Kitab Al-Mar'ah baynal Qanun wal Fiqh (Wanita antara Undang-Undang dan Fiqh) karya Syaikh Mushtafa As-Sibai adalah kitab yang  cukup bagus dan berimbang dalam mendeskripsikan seluk-beluk wanita dan isu-isu krusial yang berkaitan dengannya. Menggunakan studi komparatif plus kajian sejarah wanita di berbagai peradaban anak adam di muka bumi. Dari peradaban Yunani hingga era kejayaan Islam.



          Siapapun yang mengorek-ngorek sejarah dan menelitinya dalam permasalahan wanita, tentu dia tak akan pernah ragu menyatakan bahwa peradaban Islamlah -selama lebih dari 14 abad - yang mengagungi dan sangat antusias menjaga hak-hak wanita, dan si peneliti sejarahpun akan mendapatkan dan mengetahui peradaban lainlah -selain islam- yang menghinakan dan menghancurkan hak-hak wanita. Islamlah yang mengangkat derajat wanita serta menjaga kehormatan dan martabat mereka.



         Sayangnya tak sedikit orang yang tertipu dan mengira dengan hanya melihat sisi luar kehidupan wanita di barat bahwa merekalah -peradaban barat- yang sangat antusias dan menjamin untuk kebahagiaan wanita dan kesejahteraan mereka. Faktanya, peradaban barat hanyalah ingin menempatkan wanita dalam kehinaan dan memarjinalkan posisi mereka.



          Di antara ajaran dasar Islam yang didistorsi dan  dijadikan alat untuk menuduh Islam adalah pandangan Islam terhadap masalah poligami, hak-hak wanita dalam politik dan pendidikan, pandangan Islam dalam berbaurnya wanita dengan laki-laki saat bekerja, dan lain-lain.



          Dan kitapun ditantang dengan menjawab isu-isu di atas untuk menjelaskan beberapa poin berikut:

Apa pandangan Islam yang benar terhadap isu-isu tersebut ? Bagaimana tafsir yang benar untuk itu? Dan juga bagaimana pandangan peradaban dan kultur selain Islam ? Serta bagaimana pengakuan mayoritas ilmuwan barat dengan kegagalan mereka dalam menjaga hak-hak wanita, di sisi lain merekapun mengakui kehebatan dan keagungan pandangan Islam dalam mengatur dan memperlakukan wanita di semua elemen.

Tulisan kecil ini berusaha meringkas gagasan dan jawaban yang ditulis oleh Syekh Mustofa As-Siba'i dalam kitab beliau yang fokus mengemas jawaban dari isu-isu di atas.





  1. Pandangan dan Sikap Islam Terhadap Wanita

           Di era akhir abad ke-6 masehi, di tengah-tengah kegelapan yang berkemah dalam problem wanita di seluruh penjuru alam yang berbudaya dan yang tidak berbudaya di saat itu. Berangkat dari bangsa arab, di atas tanahnya yang gersang dan datarannya yang gundul serta gunung-gunungnya yang merah. Tepat dari Makkah tersembur seruan dari langit dengan wasilah lidah Muhammad SAW yang meletakan barometer keadilan yang haq untuk kemuliaan wanita. Dan memberikan hak-haknya secara sempurna tanpa kurang sedikitpun, yang mengangkat tulang belikatnya dari beban penghinaan yang ditopangnya sepanjang sejarah, menyerukan atas kemanusiaanya yang sempurna serta menjaganya dari olokan syahwat dan fitnah pelecehan kepadanya seperti hayawan, seraya menjadikanya sebagai elemen dan faktor yang efisien dalam kebangkitan sosial.

          Bisa disimpulkan dan dimuarakan dari beberapa poin ajaran fundamental islam dalam masalah wanita, bahwa islam menempatkan wanita di tempat yang pantas untuknya di tiga media dan ranah yang pokok:



1- Ruang kemanusiaan : Islam mengakui dengan kemanuisaannya dengan sempurna seperti lelaki. Dan di titik ini lah tempat keraguan dan perdebatan di kalangan ummat terdahulu.

2- Ruang sosial : Islam telah membuka lebar-lebar pintu pendidikan kepada mereka dan menempatkan mereka di ruang sosial tempat yang mulia di berbagai elemen kehidupannya. Dari mulai bayi hingga akhir hayatnya. Bahkan kemuliaan ini berkembang setiap kali bertambah umur mereka, dari bayi dan menjadi istri hingga kederajat ibu, di mana setiap kali bertambah tua sangat dibutuhkan tambahan rasa mencitai dan memuliakanya.

3- Ruang undang-undang : Islam telah memberikan kepantasan dan kelayakan dalam segi ekonomi di semua interaksinya tatkala dia telah mencapai kategori "Al-Rusyd" dan tidak diberikan satu orang pun menjadi walinya, maupun ayah, suami, ataupun kepala rumah tangga.



  1. Beberapa Perbedaan

          Berangkat dari penjelasn dan esensi di atas. Sangat tidak dipungkiri kita mendapatkan beberapa perbedaan untuk wanita dalam islam, dengan beberapa poin perbedaan itu musuh islam atau orang islam sendiri -yang tidak memahami secara detail- menjadikannya sebagai senjata untuk menuduh dengan sangkaan pemarjinalan wanita dalam islam. Di antara perbedaan tersebut yang harus dijelaskan :



1. Kesaksian ( Syahadah): islam telah mentapkan dalam hukum penetapan hak atau saksi harus dengan dua lelaki yang adil atau satu lelaki dan dua wanita. Dalam hal ini kita telah mengetahui islam memperlakukan wanita seperti lelaki dalam khalayak transaksi keuangan-seperti jual beli dan lain-lain          selagi perlakuan ini tertanam dalam kehidupan wanita, maka tidak ada sangkut pautnya kemuliaan dan kemanusiaan wanita dengan tidak memperlakukannya seperti lelaki dalam hukum "saksi", kecuali di sana ada beberapa pertimbangan dan hikmah yang amat sangat dalam penetapan hukum tersebut. Di antaranya prihal wanita yang identik lembut dan tertutup dan jarang bergaul dalam sosial secara keseluruhan, dan bukan dari sifatnya untuk mengingat kejadian kriminal dan mementingkan keadaan luar rumah. Menunjukan tidak bisa diambil secara gamblang perkataannya dalam hal saksi, sehingga mengharuskan satu orang lagi untuk menguatkan perkataannya. Dan sangat dibutuhkan untuk menetapkan suatu hak kepastian atas perkataan saksi, yang mengharuskan untuk mendatangkan seorang lelaki jantannya dari sifat lelaki yang berprihal berbaur dalam sosial. Jadi bukanlah masalah memarjinalkan wanita atau tidak menganggapnya dalam kehidupan sosial. Perkara memutuskan hak bukanlah hal yang enteng untuk diputuskan seorang hakim terlebih dalam hak pidana.



2. Warisan: peradaban selain islam dahulu tidaklah sedikitpun memberinya hak dalam hal warisan. Sehingga datanglah islam yang menjunjung hak wanita terlebih dalam hal waris. Diberinya wanita warisan setengah dari hak lelaki bukanlah urusan tentang mengucilkan dan memuliakan. Islam selalu melihat konsekuensi dalam hukum yang ditetapkannya. Dan hukum waris diberikan lelaki setengah lebih banyak dari wanita karena islam melihat kedepannya, lelaki akan melamar wanita dan mengharuskannya mengeluarkan mahar. Setelah itu dia akan menjadi suami yang wajib menfakahi istri dan anaknya. Di samping itu semua, penetapan warisan wanita di bawah lelaki dikarenakan ada beberapa sebab di antaranya, wanita tidaklah mendapatkan kewajiban untuk membayar mahar tatkala dilamar, dan tidak juga ada tanggungan menafkahi suami dan anak. Sangatlah simpel apabila orang mau sejenak merenungi hukum islam yang dianggap menindas wanita.



3.Uang Tebusan (Diyat): Pidana pembunuhan dalam syariat islam harus dihukum "mati" juga apabila pidana tersebut besifat sengaja ( ‘amd ), tak terkecuali dalam prihal ini, semua sama. Laki-laki ataupun wanita. Dan selain kategori "amd" tindak pidana hanya dihukumi membayar "diyat" atau "tebusan" terhadap si pelaku. Islam lagi-lagi menetapkan diyat wanita setengah diyatnya lelaki karena beberapa sebab, diantaranya : anak-anak yang tebunuh ayahnya, dan istri yang terbunuh suaminya mereka jelas kehilangan sumber air kehidupan dan nafkah. Lain halnya anak-anak yang terbunuh ibunya, dan suami yang kehilangan istrinya. Mereka hanya kehilangan sesuatu maknawi yang tidak mungkin digantikan dengan hanya uang tebusan. Islam selalu memprioritaskan konsekuensi kehidupan ke depan untuk manusia. Bila dilihat dari paparan rendah di atas, diyat atau tebusan bukanlah barometer untuk harga kemanusiaan orang yang terbunuh. Akan tetapi tebusan hanyalah barometer untuk harga kerugian yang menimpa keluarga orang yang terbunuh. Dan inilah dasar yang tidak diperselisihkan lagi.



4. Kepemimpinan Negara : Islam sangat mengharuskan untuk pemimpin negara adalah seorang lelaki karana hadits (ما أفلح قوم ولوا أمرهم إمرأة). Jelasnya nash ini hanya berfokus kepemimpinan negara, karena nabi berkata dalam konteks yang timbul saat itu. Wanita bukan secara mutlaq tidak bisa memimpin karena dibeberapa hal dia ada peran dan sangat bisa dalam memegang wilayah tersebut. Seperti menerima wasiat untuk anak kecil, menjadi wakil untuk sebuah oraganisasi dalam pemutaran uang, dan bisa menjadi saksi (dan saksi adalah wilayah sebagaimana dipaparkan ulama). Larangan kepada wanita untuk menjadi pemimpin negara bukanlah juga masalah kemanusian atau tidaknya. Di sana ada beberapa sebab yang esensial untuk dipertimbangkan. Sudah diketahui pemimpin negara adalah orang yang selalu siap untuk rakyatnya, penyampai lidah rakyat, dan penopang negara. pemimpin negara bukanlah simbol untuk trens atau mahkota yang disembah dan tanda tangan yang berharga. Pemimpin harus sering berbaur dengan rakyat selalu membentangkan tangannya. Dan kriteria ini sangat tidak diaplikasikan untuk wanita yang bersifat menyendiri dan sering di rumah, atau terlebih dia hamil atau halangan yang sangat tidak memungkinkan saat seperti itu mengurus negara.



         Kesimpulannya setelah islam meresolusikan atas kemulian wanita dengan terang. Islampun memberi kepada wanita beberapa aturan yang dipandang lain dengan lelaki, karena melihat dan menyesuaikan untuk tabiatnya. Islampun menjauhkan pekerjaan -pekerjaan yang kurang pantas dengannya dan tabiatnya. Oleh sebab itu, sebagian hukum untuk wanita ada yang berbeda dengan lelaki maupun secara plus atau minusnya. Misalnya islam menggugurkan sebagian kewajiban agama yang bersifat sosialis. Seperti solat jum'at. Dan masih banyak lagi poin-poin yang berbeda dengan hukum lelaki. Jadi, bukanlah semua ini karena unsur perbedaan kemuliaan antara kaum hawa dan adam. Jika diteliti semua aturan atau undang-undang disetiap masa pasti ada perbedaan karena ada beberapa pertimbangan yang menuntut kepada kemaslahatan umum.





  1. Poligami

1.  Pemikiran Poligami

Banyak golongan yang menceloteh hinaan dan mencaci islam menggunakan senjata dari wadah syariat islam yang mereka tidak faham asalnya. Yaitu "poligami". Dan menuduh islam telah menindas wanita dan menghinakan mereka. Perlu diteliti dan diperjelas untuk membantah celotehan ini :

          A. Islam bukanlah syariat yang pertama kali melegalkan poligami, akan tetapi pelegalan poligami sudah ada di ummat-ummat terdahulu seperti hindu, budha, dan lain-lain. Dan agama yahudi juga membolehkan poligami tanpa batas. Dan tidak ada nash yang jelas menjelaskan dilarangnya poligami di agama nasroni



           B. Di Jerman di zaman nazi, bahwa Hitler sangat antusias untuk melegalkan poligami, dan dia meminta untuk dasar undang-undang poligami agar mengambil dari hukum islam, akan tetapi rencana ini gugur sebelum terealisasi sebab perang dunia kedua. Dan banyak lagi pemikir-pemikir bebas barat yg memuji atas pelegalan poligami.

          Kesimpulannya bukanlah pemikiran poligami datang pertama kali dari islam, sehingga mereka menceloteh tidak layak atas syariat islam. Hanya karena di sana ada permaslahan peperangan dingin dengan pemikiran sehingga menjalin penolakan dan cacian yang mengguyur islam dan memojokannya.







2. Butuhnya berpoligami

Apabila kita berbicara tentang poligami secara rasional dan menjauhkan pikiran dari rasa kasih sayang dan cinta. Kita menemukan dalam poligami ada nilai baiknya dan ada nilai buruknya. Dan jelas sekali satu istri lebih baik dan lebih mendekati dengan kerukunan keluarga, ke mawaddah, sakinah, dan rahmah. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa aturan poligami adalah undang-undang yang tidak di lakukan seseorang yang berakal kecuali tatkala terdesak, dan keadaan inilah yang disifati baik dan positif.

          Keadaan terdesak bisa dirinci menjadi dua bagian:

  1. Terdesak atas keadaan sosial.

Banyak sekali gambaran di ranah ini, akan tetapi ada dua poin yang sangat krusial:

- Wanita lebih banyak dari pada lelaki. Dalam hal ini tidak dipungkiri lagi pelegalan poligami sangat di perlukan, dan menjadi aturan yang sangat esensial dan bersifat menjaga kelestarian sosial. karena mencegah penjombloan wanita seumur hidup, tidak ada yang menampung mereka. Dan yang lebih parnhnya lagi terjadinya di sana tersebarnya perzinaan.

- Tertimpahnya bencana atau peperangan, sehingga menimbulkan sedkitnya lelaki, dan membludaknya wanita yang menjanda. Aturan poligami harus diaplikasikan dalam keadaan seperti ini, demi menjaga keelokan sosial.



     B. Terdesak karna urusan pribadi

Mempunyai istri yang mandul, di sisi lain si suami sangat menginginkan anak. Di hadapan sang suami hanya ada dua pilihan di depannya dalam keadaan seperti ini. Dia menceraikan istrinya yang mandul atau dia menikah yang kedua kalinya. Tidak diragukan bahwa menikah lagi lebih terpandang dan berakhlak dalam pandangan pribadi dan sosial, sehingga si istri pertama tetap mendapatkan kehormatan, nafkah, dan tidak menjanda yang bisa menjulurkan kesengsaraan hidup selamanya apabila diceraikan oleh suaminya.

-  Si suami sering berpergian keluar kota. Di dalam keadaan seperti ini juga ada dua pilihan di hadapan suami. Dia menikah lagi atau mencari kekasih tanpa adanya pernikahan, sehingga menimbulkan anak-anak haram. Dan menghianati istri pertamanya. Jelas lebih mulia bagi istri pertama dan si suami untuk menerima keadaan seperti ini berpoligami, demi menjaga kemuliaan pribadi dan keluarga. Yang lebih dari itu menjaga terbentuknya anak-anak haram di lingkungan.

  - Sang suami mempunyai kelebihan berhubungan jenis, yang tidak cukup satu istri saja. Dengan alasan mungkin si istri sudah menua atau banyak hari halangannya-keadaan haid, hamil, dll-. Dalam keadaan seperti ini paling baik pilihan untuk sang suami adalah bersabar, akan tetapi apabila tidak bisa dengan cara ini, apakah kita menutup mata kita dari realitanya?! Atau mengobati sang suami dengan melegalkannya berhubungan yang haram?! Jelas cara ini tidak berahklak dan sangat keji di semua mata. Atau cara lain, yaitu melegalkan poligami kepadanya, dengan nikah secara syar'i. Yang menjaga kehormatan wanita dan lelaki.



3. Sisi Negatif Poligami

Tidak di pungkiri lagi dalam berpoligami adanya sisi negatif, ada beberapa sisi yang krusial :

A. Tumbuhnya perselisihan dan permusuhan di antara istri-istri. Yang menyebabkan lunturnya keindahan berumah tangga dan menyibukan hati sang suami hanya untuk memikirkan dalam menyatukan para istri. Dan biasanya permusuhan ini pun berpindah ke anak-anak. Yang seharusnya menjadi persaudaraan yang rukun, akan tetapi menyimpan rasa hasud dan dengki di antara mereka.

B. Sangat mustahilnya untuk sang suami adil dalam rasa cinta ke semua istrinya -sebagaimana tercantum di alqur'an- sekuat apapun dia berusaha adil dalam nafkah dan berinteraksi. Cinta tidak menerima persekutuan. Dan dalam keadaan seperti ini pasti sangat menyiksa hati istri pertama, yang di awalnya dia mendapatkan cinta itu seutuhnya, akan tetapi lunturlah keindahan tersebut setelah datang yang kedua.

Bisa dimuarakan semua sisi negatif ini dalam pandangan, bahwa aturan mana yang tidak adak sisi negatifnya?!. Adakah di dunia ini yang berjalan sesuai apa yang dikehendaki manusia?!. Akan tetapi syari'at selalu mempertimbangkan yang lebih enteng dan ringan bahayanya. Berpoligami biasanya tidak bisa dilakukan kecuali tatkala darurat. Dan darurat tersebutpun mempunyai hukum-hukumnya. Maka apabila bukan dikarenakan darurat maka itu kelakuan yang bodoh dan tidak berakal. Inilah pandangan setiap orang yang berakal dan setiap masyarakat dalam masalah poligami.

Dan perasaan wanita yang tersakiti, tidak bisa mencegahnya dari terealisasinya berpoligami. Seorang lelaki bisa saja melirik wanita lain, dan berhubungan yang bukan syar'i dengan wanita lain. Terkadang si istri mengetahui tentang itu, tapi apalah daya untuk mencegahnya, dalam situasi seperti ini mana yang lebih baik, suami berpoligami dan si istri megetahuinya, dan mereka berdua masih berjalan di atas jalan Allah dan rosul-Nya?!



EPILOG

    Islam diturunkan sebagai agama baru dengan syariat yang menghapus syariat umat-umat terdahulu, termasuk salah satu misi islam adalah memuliakan perempuan, islam mengatur undang undang tentang bagaimana seorang wanita Layaknya diperlakukan, Bagaimana Berinteraksi dengan wanita, Tentang Ruang gerak wanita didalam lingkup sosialnya, Apa saja yang menjadi Hak dan apa yang diwajibkan bagi seorang wanita.

Jika dengan hanya "menutup wajah" saja dunia barat menghardik tata cara islam memperlakukan wanita, lalu jika kita berani bicara jujur, sudah berapa puluh tahunkah wanita dibarat sana mempunyai kebebasan? (Dari jual beli, hingga menjadi saksi dimuka hakim) Yang mana wanita wanita kita sudah mendapat kemerdekaan semacam itu 14 abad yang lalu, Jika kita mau membuka mata sedikit lebih lebar, wanita wanita barat akan kehilangan nama nama mereka setelah menikahi pasangannya. Bukan Maria atau angelina tetapi berganti dengan Mrs. Barack obama.

Penggiringan opini bahwa "islam telah menzalimi hak hak wanita" adalah salah dan merupakan tuduhan secara sepihak tanpa mendalami esensi esensi yang terkandung dalam setiap poin Aturan aturan tersebut.

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.