Menulis Untuk Berbakti
Oleh Munandar Haris mahasiswa tingkat 3 di Universitas Al-Ahgaff, Yaman.
“Menulis bagi saya adalah sebuah perlawanan. Di semua buku
saya, saya selalu mengajak umtuk melawan.”- Pramoedya Ananta Toer-
Pramoedya Ananta Toer atau yang kita kenal dengan sebutan
Pram, merupakan sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Lahir dibawah rezim kolonialisme Hindia Belanda, Pram tumbuh menjadi seorang
yang ikut berandil dalam revolusi kemerdekaan bangsanya. Tidak hanya
bermodalkan pena, ia juga terjun langsung ke medan pertempuran sebagai letnan
di pinggiran kota Jakarta.
Salah satu
karya terbesar Pram yang begitu abadi sampai saat ini adalah Bumi Manusia.
Karya sastra fiksi yang menyinggung penjajahan, kemanusiaan dan ketidakadilan
dalam hidup manusia. Karyanya ini telah mengilhamkan semangat juang dan
revolusi bagi pembaca pada umumnya, dan anak muda pada khususnya.
Tidak
hanya Bumi Manusia, karya lain dari Pram juga menjadi sensasi tersendiri bagi
penguasa atau pihak manapun yang menjadi objek sasaran tembak dari seorang
Pram. Arok-Dedes misalkan, menceritakan peristiwa kudeta yang pertama kali
terjadi dalam sejarah Nusantara. Kudeta yang dimaksud di sini adalah peristiwa
perebutan kekuasaan Tumapel oleh Ken Arok yang disebut secara licik, munafik
dan tidak terbuka.
Karya yang
terlahir dalam penjara ini menjadi sebuah kontroversi manakala sang pembaca
–tanpa diminta sekalipun- akan menggiring opininya pada peristiwa 1965. Jadi,
bagaimanakah proses peralihan kekuasaan presiden di kala itu sebenarnya? Dan
akan muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang akan menjadi berbahaya bagi
keberlangsungan rezim orde baru kala itu.
Sebelum
era Pram, sejarah sebenarnya sudah mencatat. Bahwa para founding fathers
republik ini – Soekarno, Muh. Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjarir, untuk
memyebutkan beberapa – merupakan para pecinta buku yang mau belajar dan berani
berbuat. Tak jarang beberapa diantaranya bahkan menggunakan tulisan sebagai
metode perjuangan mereka.
Menuju Republik Indonesia karya Tan Malaka dan Mencapai
Indonesia Merdeka milik Soekarno hanyalah sedikit dari contoh karya-karya para
founding fathers ini. Buku-buku ini pada gilirannya akan menggerakkan tidak
hanya ribuan, bahkan jutaan anak pribumi untuk melepaskan diri dari belenggu
penjajahan.
“Tugas seorang penulis adalah menulis dengan sebaik-baiknya.
Dengan cara itulah, seorang penulis berbakti pada bangsanya”.ucap Marquez,
peraih nobel sastra tahun 1982 asal Kolombia suatu hari. Berbakti, seperti yang
dimaksudkan Marquez diatas tidaklah pasti berwujud ketaatan, kepatuhan dan
ketundukkan mutlak terhadap pemerintah.Tapi ia dapat berwujud sebuah kritik,
perlawanan dan semisalnya terhadap tirani pemerintahan. Ini merupakan sisi
berbakti terhadap bangsa dan masyarakatnya.
Dari Mesir, kita akan mengenal Nawal el sadawi. Seorang
penulissekaligus aktivis gerakan feminis yang pernah dipenjarakan oleh rezim
Anwar Sadat di tahun 1981 atas tuduhan melakukan “kejahatan politik” lewat
tulisan-tulisannya.
Di negri kita sendiri “kejahatan politik” semacam Nawal el
sadawi ini masih begitu segar aromanya tercium dalam ingatan kita. Iwan fals,
seorang pujangga yang menuliskan sajak-sajak lantas diaransemen menjadi
lagu-lagu yang menyinyir dan menyindir rezim orde baru merupakan musuh nyata Soeharto
masa itu. Tak heran, bila sang pujangga satu ini juga mendapatkan nasib yang
hampir mirip dengan Nawal el sadawi.
Pram, Tan malaka dan Iwan fals hanyalah seorang penulis.
Menulis, memang kerapkali dipandang sebelah mata. ia seringkali hanya digunakan
untuk romantisme cinta lewat puisi-puisi asmara atau bahkan erotis. Tidak
banyak yang menyadari bahwa tulisan adalah senjata. Tidak pula banyak orang
yang memahami makna sejati pena lebih tajam dari pada pedang. Bahwa pena dapat
menggerakkan jutaan orang tanpa paksaan. Sementara pedang tidak.
Dengan segala bentuk tulisan, -novel, cerpen, puisi, esay,
dan lainnya- sejatinya kita dapat memperjuangkan segala yang seharusnya
diperjuangkan. Tentang keadilan yang tidak rata. Tentang kemanusiaan yang tidak
semestinya. Tentang kesetaraan yang bagaimana seharusnya.
Karena dengan tulisan, orang lain akan memahami ide dan
kehendak hati kita. Karena dengan tulisan ide-ide itu akan kekal bahkan ketika
kita sudah tiada. Mirip dengan yang diucapkan Tan Malaka suatu ketika.
“Ingatlah, bahkan dari dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras!” Ya,
suara Tan Malaka lebih keras lewat ide-ide dalam catatan-catatannya yang masih
dibaca sampai saat ini.
Tidak ada komentar: