Seputar Bid`ah dan Inovasi Beragama
Oleh Munandar Harits Wicaksono
Islam sebagai agama, dianggap penting karena memiliki dua
rujukan yang dengan keduanya manusia diatur sedemikian rupa. Al-Qur’an, sebagai
rujukan yang pertama merupakan sebutan untuk lafadh yang Tuhan turunkan kepada
Nabi Muhammad di mana bacaannya mengandung sisi i'jaz (melemahkan; mukjizat)
bagi penentangnya dan bernilai ibadah dengan membacanya. Sementara hadits,
sebagai rujukan kedua adalah ucapan Nabi Muhammad pasca ia diangkat Tuhan
menjadi utusannya.
Keduanya merupakan wasilah Tuhan memperkenalkan diri-Nya,
mengingatkan manusia mengenai hakikat hidup, dan tak luput mengatur segala
aspek mulai dari skala mayor dan urgen seperti perkara ketuhanan, konsep
interaksi dengan sesama manusia, hingga perkara kecil nan sepele seperti halnya
berpakaian dan lain-lain.
Di masa awal pembentukan syariat, keberadaan Nabi Muhammad
sebagai penyambung lidah Tuhan sangat dibutuhkan. Hadits sebagai ucapannya
punya kedudukan tidak hanya sebagai penjelas, tapi dalam berbagai masalah
menjadi pijakan hukum atas hukum yang belum tersebut dalam Al-Qur’an. Maka
ketika muncul suatu masalah yang belum diketahui hukumnya, mudah saja orang di
masa itu akan segera bertanya kepada beliau. Kemudian dalam beberapa kasus
Tuhan akan mengklarifikasi maupun memperkuat jawaban Rasulullah tersebut.
Meskipun demikian, Islam di masa itu tidak serta-merta
menetapkan hukum sepihak semacam diktator. Dalam berbagai kesempatan Nabi
Muhammad mengatakan, "Permudahlah, jangan mempersulit!" Bahkan ucapan
itu diulang-ulang sampai tiga kali, menunjukkan betapa kuatnya anjuran
tersebut.
Hal ini jelas kontradiktif dengan apa yang terjadi dalam
masyarakat dewasa ini. Kita dihadapkan pada fenomena merebaknya
pemikiran-pemikiran kaku yang sangat enggan berinovasi dalam beragama.
Menggunakan dalih hadits "Setiap perbuatan bid'ah atau yang tidak
dicontohkan Muhammad adalah sesat" mereka seenaknya sendiri
menyalah-nyalahkan golongan lain.
Padahal, hadits yang diucapkan ini sejatinya masih sangat
global. Dalam redaksi bahasa Arab lafadh kullun yang memiliki makna setiap
(seperti dalam hadits di atas) memiliki 2 padanan makna. Terkadang lafadh kullun ini digunakan untuk makna jam' , yang
berarti ia tidak menerima pengecualian. Kadang pula ia bermakna jami' dimana ia
menerima pengecualian.
Berkaca pada hal tersebut, para cendikiawan muslim moderat
memberikan definisi yang relevan dengan makna bid'ah yang dikehendaki Nabi.
Salah satu definisi yang adil menyebutkan bid'ah adalah sebuah ajaran baru yang
dibuat-buat untuk menandingi syariat.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah semisal acara 40 hari
memperingati kematian yang di dalamnya terdapat kandungan silaturahim, membaca
Al-Qur’an bersama dan segala perbuatan baik lainnya dibuat untuk menandingi
syariat? Tentu tidak.
Seperti inilah yang kami maksudkan sebagai fenomena
pemikiran kaku dan enggan berinovasi di atas. Hal ini diperparah dengan
masyarakat kita yang cenderung hanya melihat cover dan mengabaikan substansi
sebenarnya. Padahal, sejatinya sudah menjadi maklum bersama, mengingat Wali
Songo di masa penyebaran Islam di Tanah Jawa juga membungkus ajaran-ajarannya
dengan budaya.
Satu yang menarik terkait inovasi dalam beragama adalah
sebuah riwayat hadits yang disebutkan dalam kumpulan hadits Imam Nawawi dalam
kitab Riyadlush Shalihin. Disebutkan suatu ketika seorang Baduwi melakukan
tawaf mengelilingi ka'bah menyebutkan kata-kata yâ karîm (yang tentu tidak
pernah diajarkan Nabi Muhammad) berulang kali. Heran akan hal tersebut, Nabi
Muhammad menghampirinya bersamaan dengan turunnya Jibril. Lalu terjadilah
percakapan yang sejatinya melibatkan 4 subjek. Tuhan, Jibril, Muhammad dan
orang Baduwi tadi.
Singkat cerita, Tuhan melalui Jibril, disampaikan oleh
Muhammad, bertanya pada Baduwi tersebut, "Apakah kau kira dengan
mengucapkan yâ karîm (wahai Yang Maha Mulia), Tuhan akan mengampuni dosa dan
memperingan timbangan burukmu?" Secara spontan baduwi itu menjawab
"Kalau Tuhan berani menimbang amalanku, akan kutimbang balik Ia!"
Mendengar jawaban tersebut Nabi Muhammad kaget bukan kepalang. Lantas ia bertanya,
"Bagaimana bisa?" Baduwi segera menjawab "kalau Tuhan menimbang
amalan burukku, akan kutimbang pula rahmat dan kasih sayangNya. Saya yakin
rahmat-Nya jauh lebih besar daripada dosa saya." Lalu apa kata Tuhan?
Tuhan justru berkata "Muhammad, sampaikan pada Baduwi itu, aku tidak akan
menimbang-nimbang amal buruknya."
Menarik. Ada dua poin utama dalam hadits tersebut yang bisa
kita ambil kesimpulan. Yang pertama adalah bagaimana baduwi tersebut melakukan
sebuah perbuatan yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhanmad. Ia berinovasi
dengan melakukan perbuatan yang membuat Rasulullah terheran-heran, namun secara
substansial ia menyetujuinya.
Poin kedua adalah terkait pola pikir inovatif Baduwi
tersebut. Bagaimana ia dengan cerdas justru hendak menggugat Tuhan. Pola pikir
seperti inilah yang mati suri dalam masyarakat kita dewasa ini. Kita terlampau
asyik dalam pola pikir jumud yang tidak kunjung usai. Padahal, justru dengan
pola pikir inovatif dan sedikit “nakal” seperti inilah Islam bisa maju dan
berkembang. Selama, ia tidak keluar dari batas koridor kewajaran.[]
Penulis adalah Alumnus MAPK Surakarta tahun 2013/2014. Saat
ini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Al Ahqoff, Tarim, Hadramaut, Yaman.
Menyukai puisi, sastra dan sedikit kopi. Bisa dihubungi lewat akun twiter @munandarharits1
Seputar Bid'ah dan Inovasi Beragama
Oleh Munandar Harits Wicaksono
Islam sebagai agama, dianggap penting karena memiliki dua
rujukan yang dengan keduanya manusia diatur sedemikian rupa. Al-Qur’an, sebagai
rujukan yang pertama merupakan sebutan untuk lafadh yang Tuhan turunkan kepada
Nabi Muhammad di mana bacaannya mengandung sisi i'jaz (melemahkan; mukjizat)
bagi penentangnya dan bernilai ibadah dengan membacanya. Sementara hadits,
sebagai rujukan kedua adalah ucapan Nabi Muhammad pasca ia diangkat Tuhan
menjadi utusannya.
Keduanya merupakan wasilah Tuhan memperkenalkan diri-Nya,
mengingatkan manusia mengenai hakikat hidup, dan tak luput mengatur segala
aspek mulai dari skala mayor dan urgen seperti perkara ketuhanan, konsep
interaksi dengan sesama manusia, hingga perkara kecil nan sepele seperti halnya
berpakaian dan lain-lain.
Di masa awal pembentukan syariat, keberadaan Nabi Muhammad
sebagai penyambung lidah Tuhan sangat dibutuhkan. Hadits sebagai ucapannya
punya kedudukan tidak hanya sebagai penjelas, tapi dalam berbagai masalah
menjadi pijakan hukum atas hukum yang belum tersebut dalam Al-Qur’an. Maka
ketika muncul suatu masalah yang belum diketahui hukumnya, mudah saja orang di
masa itu akan segera bertanya kepada beliau. Kemudian dalam beberapa kasus
Tuhan akan mengklarifikasi maupun memperkuat jawaban Rasulullah tersebut.
Meskipun demikian, Islam di masa itu tidak serta-merta
menetapkan hukum sepihak semacam diktator. Dalam berbagai kesempatan Nabi
Muhammad mengatakan, "Permudahlah, jangan mempersulit!" Bahkan ucapan
itu diulang-ulang sampai tiga kali, menunjukkan betapa kuatnya anjuran
tersebut.
Hal ini jelas kontradiktif dengan apa yang terjadi dalam
masyarakat dewasa ini. Kita dihadapkan pada fenomena merebaknya
pemikiran-pemikiran kaku yang sangat enggan berinovasi dalam beragama.
Menggunakan dalih hadits "Setiap perbuatan bid'ah atau yang tidak
dicontohkan Muhammad adalah sesat" mereka seenaknya sendiri
menyalah-nyalahkan golongan lain.
Padahal, hadits yang diucapkan ini sejatinya masih sangat
global. Dalam redaksi bahasa Arab lafadh kullun yang memiliki makna setiap
(seperti dalam hadits di atas) memiliki 2 padanan makna. Terkadang lafadh
kullun ini digunakan untuk makna jam' , yang berarti ia tidak menerima
pengecualian. Kadang pula ia bermakna jami' dimana ia menerima pengecualian.
Berkaca pada hal tersebut, para cendikiawan muslim moderat
memberikan definisi yang relevan dengan makna bid'ah yang dikehendaki Nabi.
Salah satu definisi yang adil menyebutkan bid'ah adalah sebuah ajaran baru yang
dibuat-buat untuk menandingi syariat.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah semisal acara 40 hari
memperingati kematian yang di dalamnya terdapat kandungan silaturahim, membaca
Al-Qur’an bersama dan segala perbuatan baik lainnya dibuat untuk menandingi
syariat? Tentu tidak.
Seperti inilah yang kami maksudkan sebagai fenomena
pemikiran kaku dan enggan berinovasi di atas. Hal ini diperparah dengan
masyarakat kita yang cenderung hanya melihat cover dan mengabaikan substansi
sebenarnya. Padahal, sejatinya sudah menjadi maklum bersama, mengingat Wali
Songo di masa penyebaran Islam di Tanah Jawa juga membungkus ajaran-ajarannya
dengan budaya.
Satu yang menarik terkait inovasi dalam beragama adalah
sebuah riwayat hadits yang disebutkan dalam kumpulan hadits Imam Nawawi dalam
kitab Riyadlush Shalihin. Disebutkan suatu ketika seorang Baduwi melakukan
tawaf mengelilingi ka'bah menyebutkan kata-kata yâ karîm (yang tentu tidak
pernah diajarkan Nabi Muhammad) berulang kali. Heran akan hal tersebut, Nabi
Muhammad menghampirinya bersamaan dengan turunnya Jibril. Lalu terjadilah
percakapan yang sejatinya melibatkan 4 subjek. Tuhan, Jibril, Muhammad dan
orang Baduwi tadi.
Singkat cerita, Tuhan melalui Jibril, disampaikan oleh
Muhammad, bertanya pada Baduwi tersebut, "Apakah kau kira dengan
mengucapkan yâ karîm (wahai Yang Maha Mulia), Tuhan akan mengampuni dosa dan
memperingan timbangan burukmu?" Secara spontan baduwi itu menjawab
"Kalau Tuhan berani menimbang amalanku, akan kutimbang balik Ia!"
Mendengar jawaban tersebut Nabi Muhammad kaget bukan kepalang. Lantas ia
bertanya, "Bagaimana bisa?" Baduwi segera menjawab "kalau Tuhan
menimbang amalan burukku, akan kutimbang pula rahmat dan kasih sayangNya. Saya
yakin rahmat-Nya jauh lebih besar daripada dosa saya." Lalu apa kata
Tuhan? Tuhan justru berkata "Muhammad, sampaikan pada Baduwi itu, aku
tidak akan menimbang-nimbang amal buruknya."
Menarik. Ada dua poin utama dalam hadits tersebut yang bisa
kita ambil kesimpulan. Yang pertama adalah bagaimana baduwi tersebut melakukan
sebuah perbuatan yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhanmad. Ia berinovasi
dengan melakukan perbuatan yang membuat Rasulullah terheran-heran, namun secara
substansial ia menyetujuinya.
Poin kedua adalah terkait pola pikir inovatif Baduwi
tersebut. Bagaimana ia dengan cerdas justru hendak menggugat Tuhan. Pola pikir
seperti inilah yang mati suri dalam masyarakat kita dewasa ini. Kita terlampau
asyik dalam pola pikir jumud yang tidak kunjung usai. Padahal, justru dengan
pola pikir inovatif dan sedikit “nakal” seperti inilah Islam bisa maju dan
berkembang. Selama, ia tidak keluar dari batas koridor kewajaran.[]
Penulis adalah Alumnus MAPK Surakarta tahun 2013/2014. Saat
ini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Al Ahqoff, Tarim, Hadramaut, Yaman.
Menyukai puisi, sastra dan sedikit kopi. Bisa dihubungi lewat akun twiter
@munandarharits1
Tidak ada komentar: